Minggu, Mei 03, 2009

TAWADHU KEPADA ALLAH

TAWADHU KEPADA ALLAH

من توا ضع لى هكذا وجعل ا لنبى صلى الله عليه وسلم كفه ال الارض رفعته هكذا وجعل بطن كفه الى السما ء

Barangsiapa yang tawadhu karena Aku, seperti begini lalu Rasulullah Saw. mengisyaratkan dengan menelungkupkan tangannya ke bumi niscaya Aku angkat seperti ini (lalu Nabi Saw). membalikkan telapak tangannya yang tadi dan mengangkatnya kea rah langit. (HQR. Ahmad Bazzar, Abu Ya'la dan Thabarani dalam al-Ausath yang bersumber dari Umar r.a).

At-Tawadhu' biasanya diterjemahkan orang dengan merendahkan diri. para ulama membuat definisi yang berbeda-beda tapi hakikatnya sama. kebanyakan yang membuat definisi tawadhu itu termasuk ulama ahli tashawwuf (ahli hakikat).

di antara definisinya adalah sebagai berikut

1. Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh dan menjauhi perbuatan takabbur (sombong) ganas, ataupun membangkang, tawadhu itu merupakan salah satu sifat mukmin yang termasuk shidiqin
2. Fudlail bin iyadl seorang wara ahli tashawwuf, angkatan tabi'ut-tabi'in, mengatakan, bahwa orang mutawadli' ialah orang yang tunduk dan taat melaksanakan yang haq (benar) serta menerima kebenaran itu dari siapa pun
3. Pendapat lain menegaskan bahwa tawadhu ialah sikap tidak menganggap kelakuannya lebih tinggi dari yang lain.
4. al-Junaid seorang wara ahli tashawwuf, angkatan tabi'ut-tabi'in menganggap bahwa tawadhu' ialah tidak membusungkan dada tapi lemah lembut tanda hormat.
5. Ibnu Ahaillah as-Sakandari, seorang ahli fiqih dan tashawwuf, angkatan abad ketujuh Hijriyah atau abad ketiga belas miladiyah menganggap bahwa tawadhu' menerima yang haq (benar)
6. Al-Harawi berkata bahwa tawadhu ialah bersungguh-sungguh mencapai yang haq
7. Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin bahwa tawadhu ialah menuanikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat mengahambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi.

Di dalam al-Qur'an kita dapati ayat-ayat yang menggalakkan dan mengajak manusia bersifat tawadhu

            
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS: al-Furqon: 63)

              
Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (QS: an-Nahl: 23)

•             •           
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS: al-A'raf: 40)


                 •                      
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui. (QS: al-Maidah: 54)
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu' kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat 'izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).

Tawadhu' adalah lawan dari takabur. Tawadhu' adalah melebur dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT dan dihadapan hamba-hamba Allah. Sedangkan takabur artinya sombong, congkak, atau merasa dirinya lebih dari yang lain. Ketakaburan yang paling tinggi adalah manakala seseorang sudah merasa lebih tinggi daripada Allah SWT, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fir'aun (Pharaoh). Fir'aun mengaku dirinya adalah tuhan yang harus disembah. Fir'aun membuat undang-undang yang semua orang harus mentaatinya dan mengabaikan Undang-Undang Allah SWT. Fir'aun merasa dirinya raja yang harus ditaati melebihi ketaatan kepada Allah. Pendek kata, dengan kesombongannya Fir'aun mengaku dirinya lebih dari Allah SWT. Iblis, Fir'aun dan penghuni-penghuni neraka lainnya dicampakkan ke dalam neraka semata-mata berawal dari sifat takabur dalam diri mereka.

Firman Allah SWT:
             
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS.Al-Baqarah : 34)

Firman Allah Swt
   •   •        
Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (QS.Al-Baqarah : 206)

Demikian bahayanya sifat takabur ini, oleh karena itu seorang mukmin harus mengubur dalam-dalam sifat takabur, dan menumbuh suburkan sifat tawadhu'. Apalagi bagi para da'i yang sedang berjuang meninggikan Kalimatullah di muka bumi ini, maka sifat tawadhu' mutlak diperlukan untuk kesuksesan misi dakwahnya.




Hakikat ketakaburan adalah, kesombongan yang timbul di dalam batin dengan menghayalkan kesempurnaan ilmu atau amal. jika ia menghawatirkan kelenyapannya, maka ia pun tidak membanggakan dirinya / takabur, bilamana ia gembira atas kedudukannya sebagai nikmat dari Allah, maka ia bukan membanggakan diri, tetapi gembira atas karunia Allah.

Bilamana ia melihat kepadanya sebagai sifat tanpa memperhatikan kemungkinan lenyapnya maupun pemberi kenikmatannya, tetapi kepada sifat dirinya, maka inilah sifat ujub (takabur) dan ia termasuk sifat yang membinasakan.

Firman Allah

   •   
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman. (QS.Asy-Syu'araa : 215)

Al-Fudhali bin 'Iyadh berkata: Tawadhu' ialah senantiasa berorientasi pada kebenaran dan siap menerima kebenaran tanpa melihat siapa yang berbicara. Sedangkan Abdullah bin Hasan Al-Anshary berkata: Aku lebih suka menjadi ekor dalam kebenaran daripada menjadi kepala dalam kebatilan.
Sementara Ibnu Atha' mengatakan: Tawadhu' adalah menerima kebenaran dari siapapun datangnya, dan 'izzah (kemuliaan) itu ada di dalam tawadhu'.

Kedudukan Tawadhu
1. Tawadhu' adalah salah satu sifat dari sifat Hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang ('Ibadur-Rahman).

Firman Allah SWT:

            
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS.Al-Furqan : 63).



Kisah Rasulullah Saw mengenai ketawadhuannya.

Demikianlah, diantara sifat-sifat 'Ibadur-rahman Allah SWT meletakkan sifat tawadhu' sebagai sifat yang pertama yang harus dimiliki. Hal ini menunjukkan penting dan mendasarnya sifat tawadhu' ini bagi seorang Mukmin.Rasulullah SAW sebagai teladan hidup (al-qudwah) mukmin adalah pribadi yang sangat tawadhu'. Beliau biasa memperbaiki sendiri baju atau terompahnya yang rusak, membantu keluarganya berbelanja ke pasar, senantiasa memulai mengucapkan salam setiap bertemu dengan sahabat-sahabatnya, menghadiri undangan, tidak pernah menghina makanan, dan masih banyak contoh ketawadhu'an beliau, Nabiyullah Muhammad SAW.Diceritakan bahwa pada suatu malam datanglah seorang tamu kepada khalifah Umar bin Abdul Azis. Waktu itu beliau sedang menulis. Lampunya hampir saja padam. Tamu itu kemudian berkata: "Biarlah saya yang memperbaiki lampu itu, ya Amirul Mu'minin." Beliau menjawab: "Ah jangan, tidak baik seseorang menganggap tamunya sebagai pelayan. Itu bukan akhlaq yang mulia." Tamu itu kemudian berkata lagi: "Kalau begitu, biarlah saya bangunkan pelayan saja." Beliau menjawab: "Ah jangan, ia baru saja tidur, agaknya sejak tadi belum merasakan kelezatan bantalnya." Selanjutnya beliau sendiri membetulkan lampunya, maka tamu itu berkata lagi: "Mengapa anda sendiri yang membetulkan lampu itu, ya Amirul Mu'minin?" Beliau ra. menjawab: "Mengapa tidak, kalau saya pergi saya pun tetap Umar, kalau saya kembali sayapun tetap Umar. Tidak berkurang sesuatupun dari diriku dengan apa yang saya lakukan tadi, bukan? Selamanya saya tetap Umar."Demikian contoh para shalafus shalih sebagai pribadi yang mencerminkan sifat-sifat 'Ibadur-Rahman'.

2. Orang yang tawadhu' akan dicintai Allah SWT. Firman Allah SWT:

                 •                      
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui. (QS.Al-Maidah : 54)

Di dalam ayat ini, Allah SWT akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai Allah SWT, dan mereka pun cinta kepada Allah, kemudian dilanjutkan dengan salah satu ciri-ciri mereka adalah mereka bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin. Sifat lemah lembut ini akan bersemayam di dalam kepribadian seorang mukmin, manakala ada sifat tawadhu' di dalam dirinya.

3. Tawadhu' menjadi sebab berpautnya hati.
Firman Allah SWT

                         •           
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
(QS. Ali-Imran : 103).

Pada masa jahiliyah, perang antara kabilah (suku) merupakan kejadian rutin di seluruh jazirah Arab, baik di Makkah maupun di Madinah. Tujuan peperangan itu tidak lain semata-mata untuk menunjukkan kesombongan rasa kesukuan mereka, bahwa suku merekalah yang paling kuat, paling mulia dan sebagainya. Contoh paling jelas adalah perang antara suku Aus dan Khazraj yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun.Akan tetapi, setelah cahaya Islam menyinari hati mereka, maka hati mereka menjadi lembut, dan hancurlah kesombongan mereka berganti dengan sifat tawadhu', yang tumbuh dan berkembang dalam hati mereka. Oleh karena itulah, Allah berkenan mempersatukan hati mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang bersaudara.
Firman Allah:"...dan (Allah) Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi ini, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS.Al-Anfal : 63).

4.Tawadhu' menjadi masuknya seseorang ke dalam surga. Di dalam suatu riwayat: Abdullah bin Mas'ud berkata: Bersabda Rasulullah SAW: "Tidak akan masuk surga, siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong walau hanya seberat dzarrah." Maka seorang sahabat bertanya: "Adakalanya seseorang itu suka berpakaian bagus." Sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya Allah Indah dan suka keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang. (HR Muslim).
Allah SWT telah mengharamkan surga bagi orang-orang yang di dalam hatinya masih bersemayam sifat sombong walau hanya seberat dzarrah, dan sebaliknya mempersiapkan surga untuk dihuni oleh hamba-hambaNya yang tawadhu'.

5. Tawadhu' adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.Firman Allah SWT: "Rendahkanlah sayapmu (sikapmu) terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. Asy-Syu-araa : 215 dan Al-Hijr : 88).'Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Bertawadhu'lah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.(HR. Muslim).



Klasifikasi Tawadhu' dan tanda-tandanya. At-Tawadhu' dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis tawadhu' yaitu

:1. Tawadhu' kepada Allah SWT. Tawadhu' kepada Allah SWT artinya merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Tanda-tanda orang yang tawadhu' kepada Allah SWT diantaranya:
a. Merasa kecil/sedikit dalam taat kepada Allah, artinya seseorang yang tawadhu' kepada Allah SWT itu merasa bahwa dalam ketaatannya, ibadahnya kepada Allah masih sangat sedikit kecil dibandingkan dengan dosa yang telah dilakukan.
b. Merasa besar/banyak dalam maksiat, artinya seseorang tawadhu' kepada Allah SWT, merasa bahwa dosa/maksiat yang telah dilakukannya sangat besar/banyak dibandingkan dengan amalnya.
c. Melambungkan pujian kepada Allah SWT dan tidak kepada diri sendiri.
d. Tidak menuntut hak kepada Allah, tetapi berorientasi kepada amal yang harus dilakukan.

2. Tawadhu' kepada Dienullah (al-Islam). Tanda-tanda orang yang tawadhu' kepada Dienullah diantaranya:
a. Tunduk dan patuh kepada aturan-aturan, perintah-perintah dan larangan-larangan di dalam agama Islam.
b. Tidak mengontradiksikan al-Islam baik dalam perkataan, perasaan, pemikiran dan perbuatan.

3. Tawadhu' kepada Rasulullah SAW. Tanda-tanda orang yang tawadhu' kepada Rasulullah SAW diantaranya:
a. Mengutamakan petunjuk Rasulullah SAW di atas manusia lainnya.
b. Mencintai, mentaati, dan mengikuti setiap perkataan dan perbuatan beliau SAW.
c. Menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan hidupnya.

4. Tawadhu' kepada sesama mukmin. Tanda-tanda orang yang tawadhu' kepada mukmin yang lain diantaranya:
a. Menerima nasehat/saran kebenaran dari mukmin yang lain.
b. Senantiasa melihat kelebihan-kelebihan saudaranya, dan berusaha menutupi kekurangan-kekurangannya.
c. Siap membantu mukmin yang lain.
d. Bermusyawarah dengan mukmin yang lain.
e. Senantiasa bersangka baik (huznuzhan) kepada mukmin yang lain.
Hubungan Tawadhu' dengan 'Izzah (Kemuliaan)Orang yang tawadhu' kepada Allah SWT kepada Dienullah (Islam), kepada Rasulullah SAW dan kepada sesama mukmin adalah orang-orang yang akan mendapatkan 'Izzah (kemuliaan) di sisi Allah SWT.Firman Allah SWT: "....Padahal 'Izzah itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya, dan bagi orang-orang mukmin. (QS.Al-Munfiqun : 8).

Sabda Rasulullah SAW: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah kepada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu' karena Allah melainkan dimuliakan oleh Allah (HR. Muslim).

Dari ayat dan hadits di atas, makin jelaslah bahwa kemuliaan itu tidak ditentukan oleh harta yang dimiliki, jabatan dan pangkat yang tinggi, ataupun darah keturunan bangsawan, dan perhiasan-perhiasan dunia lainnya. Akan tetapi 'izzah seseorang akan sangat tergantung kepada sifat tawadhu' yang ada pada pribadi seorang mukmin.Sahabat-sahabat Rasulullah SAW, adalah pribadi yang sangat tawadhu' dan memiliki 'izzah yang tinggi. Sekalipun sebagian besar adalah orang-orang yang miskin, bekas-bekas budak dan kaum dhu'afa, namun mereka memiliki 'izzah yang tinggi.Menutup tulisan ini, marilah kita lihat kembali sebuah episode sejarah yang menunjukkan 'izzah kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.Saat itu, dua pasukan besar berhadap-hadapan, 40.000 tentara kaum muslimin dan 20.000 tentara Persia. Panglima Rustum duduk di atas singgasana yang berkilau-kilau bertatahkan emas dan permata, dikelilingi pengawalnya yang tertunduk di hadapan Sang Panglima. Karpet tebal terhampar di hadapan Sang Panglima. Mereka sedang menunggu utusan kaum muslimin untuk mengadakan perundingan.Tidak lama kemudian, datanglah Rubaya bin Amir utusan kaum muslimin dengan kudanya. Baju, kuda dan sepatunya biasa-biasa saja, sangat sederhana. Rubaya bin Amir dengan tenangnya melangkah di hadapan Sang Panglima sambil menggiring kudanya di atas karpet sampai di hadapan Panglima Rustum. Hal ini membuat gaduh pengawal Rustum, karena geramnya. Setelah suasana reda, dengan tenang Rubaya menyampaikan sikap kaum muslimin: "Kami datang membawa misi Ilahi untuk membebaskan manusia kepada menyembah Allah, dari alam kecil ke alam besar, dan kekejaman Majusi kepada keadilan Islam. Dan Allah mengutus kami dengan agamaNya untuk mengajak manusia kepadaNya. Siapa saja yang menerima seruan kami, kami akan menerimanya dengan baik. Kemudian kami akan kembali dan meninggalkan bumi mereka, lalu kami akan serahkan tongkat estafet dakwah itu kepada mereka untuk melanjutkannya. Akan tetapi jika ada yang menolak seruan kami, kami tidak akan berhenti berperang menghadapi mereka sampai batas yang dijanjikan Allah.Inilah 'izzah kaum muslimin pada saat itu, ke mana larinya 'izzah itu sekarang?

Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak islami yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits. kedua sumber tersebut merupakan batasan-batasan dalam tindakan kita sehari-hari dan menjadi pedoman kita sebagai umat muslim, sudah selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam.






Daftar Pustaka


Usman Ali, A.Dahlan. dan M.D. Dahlan, Hadits Qudsi, Bandung: Diponegoro, 2005
Al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani, 1986
A. Mustofa, AkhlakTasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Shafiyyurahman Al-Mubarakfury Penerjemah Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004)

Rahmat Allah

RAHMAT ALLAH

Allah berfirman di dalam hadits Qudsi

اذ اهم عبد ى بسيئة فلم يعملها فا كتبوها له حسنة فا ن عملها فا كتبو ها له سيئة فا ن تا ب فا محوها عنه واذاهم عبد ى بحسنة فلم يعملها فا كتبو ها له حسنت فا ن عملها فا كتبو ها بعشرة امش لها ال سبعما ئت ضعف

" Apabila seorang hamba-Ku, merencanakan melakukan suatu kejahatan, tapi tidak dilaksanakannya, tuliskanlah baginya satu kebajikan, tetapi jika dilaksanakannya, maka tuliskanlah baginya satu kejahatan, jika ia taubat, hapuskanlah daripadanya. Dan apabila seorang hamba-Ku merencanakan melakukan suatu kebajikan, lalu tidak dilaksanakannya, maka tuliskanlah baginya satu kebajikan, tetapi jika dilaksanakannya, tuliskanlah baginya sepuluh ganda hingga tujuh ratus ganda".
(H.R. Ibnu Hibban dan Abu Darda r.a.)

Dalam hadits di atas terdapat kata "hamma" maksudnya berkehendak dan bersiap untuk mengerjakan. jadi " hamma" atau " al-hammu" itu merupakan kecenderungan bathin yang mengandung unsur kepastian. karena itulah kami mencoba menyalinnya dengan kata " merencanakan untuk melakukan". oleh karena ada unsur kepastian itulah, maka terjadi seperti yang tersebut dalam Hadits Qudsi di atas.

ada enam jenis kecenderungan bathin pada manusia yaitu:

1. Haditsun-nafsi, yaitu lintasan-lintasan dalam bathin.
2. Hajis, yaitu suara sukma yang lebih menonjol dan lebih kuat daripada lintasan bathin.
3. Khatir, yaitu hajis yang sering menonjol dalam hati
4. al-hammu, yaitu kecenderungan bathin yang sudah mengandung unsure kepastian untuk dilaksanakan, namun pelaksanaannya masih dalam tingkat ragu-ragu.
5. al-azmu, yaitu maksud pelaksanaannya sudah kuat atau lebih kuat dari al-hammu.
6. al-jazmu, yaitu tidak ragu-ragu lagi untuk memulai melaksanakan maksudnya.


Para ulama, telah sepakat bahwa ketiga macam kecenderungan bathin yang pertama (1, 2, dan 3), tidak atau belum dikenai sesuatu hukum seperti yang dimaksud dalam Hadits Qudsi di atas, pada tahap tiga terakhir itulah baru dikenai hukum yang tersebut dalam Hadits Qudsi di atas.

Di samping itu terdapat pula ulama yang menganggap bahwa, al-azmu itu muradif (sinonim) al-jazmu, sehingga dorongan ini tidak lama lagi akan menjelma menjadi amal perbuatan.

Adapun makna dan maksud Hadits Qudsi tersebut di atas, wallahu a'lamu bi muradihi. ialah bahwa Allah memerintahkan, kepada Malaikat, yang diserahi tugas mencatat semua amal perbuatan manusia, untuk tidak menuliskannya sebagai satu kejahatan, apabila yang bersangkutan baru sampai taraf " merencanakan" saja, dan belum " melaksanakan". meninggalkan dan tidak jadi melaksanakan maksiat berarti menahan diri dari kejahatan. menahan diri dari perbuatan jahat, adalah satu kebajikan.

Apabila manusia atau orang telah melaksanakan atau mengerjakan maksiat yang direncanakannya, barulah para malaikat menuliskan atau mencatatnya sebagai satu kejahatan.

Malaikat tidak mencatat sebagai satu kejahatan, apabila masih dalam taraf " merencanakan akan melakukan" serta tidak jadi dilaksanakan disebabkan karena taqwa kepada Allah, padahal ia sanggup melaksanakannya, maka ia mendapatkan satu kebajikan.

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa orang yang mempunyai azam (maksud) melakukan maksiat dengan hatinya, dan telah menyediakan diri untuk melaksanakannya, sebenarnya ia telah berdosa, meskipun belum melaksanakannya. Menurut pendapat mereka pemaafan yang terdapat dalam Hadits qudsi tersebut di atas, hanya sampai batas al-hammu, yang hanya melintas dalam hati yang belum ada ketetapan, belum jadi azam (maksud).

Ada lagi yang berpendapat bahwa, orang yang telah melakukan maksiat tetapi belum bertaubat, kemudian merencanakan untuk melakukannya lagi atau akan mengulanginya, ia akan disiksa karena akan mengekalkan perbuatan maksiat itu. jadi pengekalan atas suatu maksiat, adalah maksiat juga. Akibatnya, orang yang meng-'aam melakukan maksiat dan memutuskan untuk melaksanakannya, telah dituliskan baginya satu kejahatan kedua.

Apabila seseorang telah melakukan kejahatan, kemudian ia sesali perbuatannya itu dengan segera menghentikan perbuatannya itu dan berpindah kepada kebaikan, bertaubat dan memohon ampun atas kemaksiatannya itu dengan berazam tidak akan mengulangi kembali perbuatan maksiatnya, Allah Swt akan berkenan menghapuskan dosa dan kejahatannya itu, Allah Swt. akan menghilangkan perbuatan jahatnya itu dan menganggapnya seolah-olah tidak pernah terjadi.

Hadits Qudsi di atas memberitakan kepada kita bahwa apabila seorang hamba merencanakan berbuat baik atau kebajikan tetapi belum atau tidak dikerjakan karena sesuatu sebab, Allah akan memerintahkan menuliskan satu kebaikan baginya. Dengan demikian diharapkan manusia selalu senang memikirkan hal-hal yang baik serta selalu berniat untuk berbuat baik. Apabila Allah Swt,. telah memberikan taufik kepada seseorang, sehingga orang itu langsung berbuat baik, Allah Swt. berkenan menuliskan sepuluh kebajikan bagi orang itu.

Kisah sahabat Rasulullah Saw yang mendapatkan rahmat Allah Swt

Habis Gelap terbitlah Terang

Ia adalah Abu Sufyan bin Harits, dan bukan Abu Sufyan bin Harb ayah Mu'awiyah. Kisahnya merupakan kisah kebenaran setelah kesesatan, sayang setelah benci dan bahagia setelah celaka .... Yaitu kisah tentang rahmat Allah yang pintu-pintu-nya terbuka lebar, demi seorang hamba menjatuhkan diri diharibaan-Nya, setelah penderitaan yang berlarut-larut!

Bayangkan, waktu tidak kurang dari 20 tahun yang dilalui Ibnul Harits dalam kesesatan memusuhi dan memerangi Islam ... ! Waktu 20 tahun, yakni semenjak dibangkitkan-Nya Nabi saw. sampai dekat hari pembebasan Mekah yang terkenal itu. Selama itu Abu Sufyan menjadi tulang punggung Quraisy dan sekutu-sekutunya, menggubah syair-syair untuk menjelekkan serta menjatuhkan Nabi, juga selalu mengambil bagian dalam peperanganyangdilancarkanterhadapIslam.

Saudaranya ada tiga orang, yaitu Naufal, Rabi'ah dan Abdullah, semuanya telah lebih dulu masuk Islam. Dan Abu Sufyan ini adalah saudara sepupu Nabi, yaitu putera dari pamannya, Harits bin Abdul Mutthalib. Di samping itu ia juga saudara sesusu dari Nabi karena selain beberapa hari disusukan oleh ibu susu Nabi, Halimatus Sa'diyah.

Pada suatu hari nasib mujurnya membawanya kepada peruntungan membahagiakan. Dipanggilnya puteranya Ja'far dan dikatakannya kepada keluarganya bahwa mereka akan bepergian.Dan waktu ditanyakan kemana tujuannya, jawabnya ialah:

"Kepada Rasulullah, untuk menyerahkan diri bersama beliau kepada Allah Robbul' alamin !"Demikianlah ia melakukan perjalanan dengan mengendarai kuda, dibawa oleh hati yang insaf dan sadar

Di Abwa' kelihatan olehnya barisan depan dari suatu pasukan besar. Maklumlah ia bahwa itu adalah tentara Islam yang menuju Mekah dengan maksud hendak membebaskannya. Ia bingung memikirkan apa yang hendak dilakukannya. Disebabkan sekian lamanya ia menghunus pedang memerangi Islam dan menggunakan lisannya untuk menjatuhkannya, mungkin Rasulullah telah menghalalkan darahnya, hingga ia bila tertangkap oleh salah seorang Muslimin, ia langsung akan menerima hukuman qishas. Maka ia harus mencari akal bagaimana caranya lebih dulu menemui Nabi sebelum jatuh ketangan orang lain.

Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puteranya Ja'far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga akhirnya tampaklah olehnya Rasulullah bersama serombongan shahabat, maka ia menyingkir sampai rombongan itu berhenti. Tiba-tiba sambil membuka tutup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Beliau memalingkan muka daripadanya, maka Abu Sufyan mendatanginya dari arah lain, tetapi Rasulullah masih menghindarkan diri daripadanya.



Dengan serempak AbuSufyan bersama puteranya berseru:
"Asyhadu alla ilaha illallah. Wa-asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Lalu ia menghampiri Nabi saw. seraya katanya: "Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Rasulullah".Rasulullah pun menjawab:

"Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai AbuSufyan!"

Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya: -- "Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudlu dan sunnah, kemudian bawa lagi ke sini".

Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah: "Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridla kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridla pula…!"

Demikianlah hanya sekejap saat…!Rasulullah bersabda:

"Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah…!" Maka tergulunglah sudah masa-masa yang penuh kesesatan dan kesengsaraan, dan terbukalah pintu rahmat yang tiada terbatas

Abu Sufyan sebetulnya hampir saja masuk Islam ketika melihat sesuatu yang mengherankan hatinya ketika perang Badar, yakni sewaktu ia berperang di pihak Quraisy. Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut serta, dan mengirimkan 'Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, ia menunggu-nunggu berita pertempuran, yang mulai berdatangan menyampaikan kekalahan pahit bagi pihak Quraisy.

Pada suatu hari, ketika Abu Lahab sedang duduk dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraisy, tiba-tiba kelihatan oleh mereka seorang berkuda datang menghampiri. Setelah dekat, ternyata bahwa ia adalah Abu Sufyan bin Harits.Tanpa bertangguh Abu Lahab memanggilnya, katanya: - "Mari ke sini hai keponakanku! Pasti kamu membawa berita! Nah, ceritakanlah kepada kami bagaimana kabar di sana …!"

Ujar Abu Sufyan bin Harits: - "Demi Allah! Tiada berita, kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka ...! Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengendarai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatupun dan tidak terhalang oleh suatupun.

"yang dimaksud Abu Sufyan dengan mereka ini ialah para malaikat yang ikut bertempur disamping Kaum Muslimin

Menjadi suatu pertanyaan bagi kita, kenapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan apa yang telah disaksikannya?
Jawabannya ialah bahwa keraguan itu merupakan jalan kepada keyakinan. Dan betapa kuatnya keraguan Abu Sufyan bin Harits, demikianlah pula keyakinannya sedemikian kukuh dan kuat jika suatu ketika ia datang nanti .... Nah, saat petunjuk dan keyakinan itu telah tiba, dan sebagai kita lihat, ia Islam, menyerahkan dirinya kepada Tuhan Robbul' alamin!

Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lain dan mengejar ketinggalannyaselamaini

Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah pempembebasan Mekah ia selalu ikut bersama Rasulu!lah. Dan di waktu perang Hunain orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan mereka porak poranda.

Sebagian besar tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya

berseru: "Hai manusia ... ! Saya ini Nabi dan tidak dusta... ! Saya adalah putra Abdul Mutthalib

Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada beberapa gelintir shahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja'far.

Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, yaitu berjuang fi sabilillah sampai menemui syahid dan di hadapan Rasulullah, telah terbuka. Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya.

Dalam pada itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, dan akhirnya Allah memberi mereka kemenangan mutlak.

Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling Kiranya didapatinya seorang Mu'min sedang memegang erat-erat tall kekangnya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya.

Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya: "Siapa ini? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits... !" Dan demi didengarnya Rasulullah mengatakan "saudaraku", hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciuminya dan dicucinya dengan air matanya.


Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menyatakan kegembiraan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya:

"WargaKa'ab dan'Amir sama mengetahui Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai Bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati Menejuni api peperangan tak pernah nyali Semata mengharapkan keridhaan IlahiYang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali".

Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah saw. ruhnya mendambakan kematian agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi kematiantetap menjadi tumpuan hidupnya.

Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi' sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang menunjukkan keheranan mereka, maka katanya:

"Aku sedang menyiapkan kuburku.

Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring dirumahnya sementara keluarganya berada di sekelilingnya dan sama menangis. Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya melihat mereka, lalu katanya: "Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tidak sedikitpun daku berlumur dosa."

Dan sebelum kepalanya terkulai di atas dadanya, diangkatkannya sedikit keatas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini.


Allah Swt Maha Pemurah, mempunyai keutamaan yang Maha Besar lagi Maha agung, yang memiliki pahala. Firman Allah dalam al-Qur'an:


•                          

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui".
(QS: al-Baqarah: 261)



•     •            
"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan". (QS: al-Baqarah: 245)




•     •       
"Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak". (QS: al-Hadid: 11)


•              •  
"Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (QS: an-Nisa: 40)


Ayat-ayat al-Qur'an yang menunjukkan pahala, kelebihan dan keutamaan Allah, tidak terhitung jumlahnya. demikian juga halnya dalam hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.

kalau kita teliti isi Hadits Qudsi di atas, terdapat bilangan 700. apakah memang pahala itu hanya dibatasi sampai 700 lipat ganda saja?

Untuk mendalami hikmah dan rahasianya, Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya menegaskan:

Apabila orang Arab, menyatakan bilangan banyak pada bilangan satuan, mereka sebutkan sampai pada bilangan tujuh. Apabila lebih dari tujuh dan ingin menyatakan bilangan banyak, biasanya mereka menyebutkan huruf "wau" Apabila kita kali-kan tujuh itu kepada bilangan sepuluh, kemudian hasil kali itu (yakni tujuh puluh) kita kalikan lagi sepuluh maka hasilnya ialah tujuh ratus.

Menurut Ibnu Hajar Alhaitami, angka 7 bagi orang arab menunjukkan bilangan banyak.

Allah berfirman di dalam Hadits Qudsi:

قا ل الله عزوجل: سبقت رحمتى غضبي

Allah Azza wajalla berfirman: "Rahmatku mendahului murkaku." (HR: Muslim).

dari hadits Qudsi di atas semakin menjelaskan bahwa sesungguhnya rahmat Allah Swt itu mendahului murka Allah, ketika kita lihat dari uraian sebelumnya betapa sangat besar sekali ampunan Allah Swt kepada hambanya yang berbuat dosa kemudian bertaubat, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang dirahmati Allah Swt amin.
























Daftar Pustaka


Usman Ali, A.Dahlan. dan M.D. Dahlan, Hadits Qudsi, Bandung: Diponegoro, 2005
Ibnu al-Haitami Hajar, Fat-hul Mubin, Syarah Arba'in Annawaiyyah, Ahmad Albabi Alhalabi, Qairo, 1307 H
Muhammad Almath Faiz, 1100 Hadits Terpilih, Jakarta: Gema Insani, 1991
Khalid Muhammad Khalid, 2000, Para Sahabat yang Akrab Dalam Kehidupan Rasul, Jakarta: Srigunting.

jalan ke surga

JALAN KE SURGA


Firman Allah dalam Hadits Qudsi:

انى ا نا ا لله لا ا له ا لا ا نا سبقت رحمتى غضبى فمن شهد ان لا اله الا ا لله و ان محمدا عبده ورسوله فله الجنة

" Sesungguhnya Akulah Allah, tiada Tuhan yang sebenarnya berhak diibadahi kecuali aku. Rahmat (kasih sayang) Ku telah mendahului kemurkaan-Ku. Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang sebenarnya berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, niscaya ia berhak mendapat surga".
(HQR ad-Dailami yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a.)

Arti rahman dalam kata-kata "rahmati" adalah kasih sayang. Rahman atau rahmat manusia beda dari Rahmah Allah.

Pada manusia, rahmah berarti kasih sayang yang mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau kebajikan kepada orang yang dikasihi. terkadang semata-mata dipakai untuk perbuatan kebajikan saja, tanpa ada kasih sayang yang mendorong. Rahmat dari Allah berarti pemberian ni'mat dan kurnia bukan dalam arti belas kasihan.

Allah bernama dan bersifat "Ar-Rahman" yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu yang ada, dan bersifat " Ar-Rahim" yang menunjukkan kasih sayang, kurnia dan Rahmat-Nya yang banyak sekali.

Asal arti " ghadhab" dari kata " ghadhaba", ialah meluap dan mendidihnya darah dalam hati atau jantung, yang begitu cepat naik ke kepala, sehingga terlihat pengaruhnyapada air muka dan matanya yang menjadi merah padam. Musuhnya atau orang yang ia marahi pada pandangannya menjadi kecil, seolah-olah dapat ditelannya bulat-bulat. Telinganya juga kelihatan merah dan kadang-kadang tak dapat mendengar nasihat orang lain, mulutnya terlihat gemetar dan menyemburkan caci-maki dan sumpah serapah serta kata-kata yang tidak sopan sama sekali, otak dan akal pikirannya kehilangan pertimbangan yang waras, karena dikuasai oleh amarahnya yang melampaui batas itu.

Darah yang mendidih itu juga menyebar, sehingga tangannya gemetar dan mengepal serta diacung-acungkannya kepada lawan-nya. kakinya pun mulai membuat langkah persiapan untuk menyerang.




Karena itulah Nabi Saw menyebutkan dalam hadits:

اتقوا الغضب فا نرجمرة توقد فى قلب ابن ادم الم تروا الى انتفاخ اوداجه وحمرة عينيه

Jagalah diri kalian, dari ghadlab (marah), karena ia laksana bara api yang dinyalakan di dalam hati manusia. bukankah kalian lihat mengembangnya leher dan memerahnya kedua biji matanya?

Adapun kemurkaan Allah, dimanifestasikan dalam bentuk siksaan yang diberikan kepada orang yang bersalah, sehingga orang itu merasa gundah hati, sakit dan sebagainya, atau orang itu dikembalikan berjalan di jalan yang diridhai Allah.

Allah telah memberitahukan kepada hamba-Nya bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Dia. Dia juga memberitahukan bahwa sifat kasih sayang kepada hamba-Nya berupa pahala dan kurnia-Nya lebih didahulukan daripada hukuman dan siksa-Nya. karena itulah

Allah berfirman dalam al-Qur'an

        •     

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan bahwa Sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih (QS: al-Hijr 49-50)

Didahulukan rahmat atas kemurkaan-Nya itu adalah kurnia dan kemurahan-Nya.

Kisah Rasullullah Saw mengenai jalan menuju surga
Di suatu pagi hari, Rasulullah SAW bercerita kepada para sahabatnya, bahwa semalam beliau didatangi dua orang tamu. Dua tamu itu mengajak Rasulullah untuk pergi ke suatu negeri, dan Rasul menerima ajakan mereka. Akhirnya mereka pun pergi bertiga.
Ketika dalam perjalanan, mereka mendatangi seseorang yang tengah berbaring. Tiba-tiba di dekat kepala orang itu ada orang lain yang berdiri dengan membawa sebongkah batu besar. Orang yang membawa batu besar itu dengan serta merta melemparkan batu tadi ke atas kepala orang yang sedang berbaring, maka remuklah kepalanya dan menggelindinglah batu yang dilempar tadi. Kemudian orang yang melempar batu itu berusaha memungut kembali batu tersebut. Tapi dia tidak bisa meraihnya hingga kepala yang remuk tadi kembali utuh seperti semula. Setelah batu dapat diraihnya, orang itu kembali melemparkan batu tersebut ke orang yang sedang berbaring tadi, begitu seterusnya ia melakukan hal yang serupa seperti semula.
Melihat kejadian itu, Rasulullah bertanya kepada dua orang tamu yang mengajaknya, “Maha Suci Allah, apa ini?”
“Sudahlah, lanjutkan perjalanan!” jawab keduanya.
Maka mereka pun pergi melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan, mereka mendatangi seseorang lagi. Orang tersebut sedang terlentang dan di sebelahnya ada orang lain yang berdiri dengan membawa gergaji dari besi. Tiba-tiba digergajinya salah satu sisi wajah orang yang sedang terlentang itu hingga mulut, tenggorokan, mata, sampai tengkuknya. Kemudian si penggergaji pindah ke sisi yang lain dan melakukan hal yang sama pada sisi muka yang pertama. Orang yang menggergaji ini tidak akan pindah ke sisi wajah lainnya hingga sisi wajah si terlentang tersebut sudah kembali seperti sediakala. Jika dia pindah ke sisi wajah lainnya, dia akan menggergaji wajah si terletang itu seperti semula. Begitu seterusnya dia melakukan hal tersebut berulang-ulang.
Rasulullah pun bertanya, “Subhanallah, apa pula ini?”
Kedua tamunya menjawab, “Sudah, menjauhlah!”
Maka mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Selanjutnya mereka mendatangi sesuatu seperti sebuah tungku api, atasnya sempit sedangkan bagian bawahnya besar, dan menyala-nyala api dari bawahnya. Di dalamnya penuh dengan jeritan dan suara-suara hiruk pikuk. Mereka pun melongoknya, ternyata di dalamnya terdapat para lelaki dan wanita dalam keadaan telanjang. Dan dari bawah ada luapan api yang melalap tubuh mereka. Jika api membumbung tinggi mereka pun naik ke atas, dan jika api meredup mereka kembali ke bawah. Jika api datang melalap, maka mereka pun terpanggang.
Rasulullah kembali bertanya, “Siapa mereka?”
Kedua tamunya menjawab, “Menjauhlah, menjauhlah!”
Akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka mendatangi sebuah sungai, sungai yang merah bagai darah. Ternyata di dalam sungai tadi ada seseorang yang sedang berenang, sedangkan di tepi sungainya telah berdiri seseorang yang telah mengumpulkan bebatuan banyak sekali. Setiap kali orang yang berenang itu hendak berhenti dan ingin keluar dari sungai, maka orang yang ditepi sungai mendatangi orang yang berenang itu dan menjejali mulutnya sampai ia pun berenang kembali. Setiap kali si perenang kembali mau berhenti, orang yang di tepi sungai kembali menjejali mulut si perenang dengan bebatuan hingga dia kembali ke tengah sungai.
Rasulullah pun bertanya, “Apa yang dilakukan orang ini?!”
“Menjauhlah, menjauhlah!” jawab kedua tamunya.
Maka mereka pun melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kali ini, mereka mendapatkan seseorang yang amat buruk penampilannya, sejelek-jeleknya orang yang pernah kita lihat penampilannya, dan di dekatnya terdapat api. Orang tersebut mengobarkan api itu dan mengelilinginya.
“Apa ini?!” tanya Rasulullah
“Menjauhlah, menjauhlah!” jawab kedua tamunya.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan lagi. Dalam perjalanan mereka menemukan sebuah taman yang indah, dipenuhi dengan bunga-bunga musim semi. Di tengah taman itu ada seorang lelaki yang sangat tinggi, hingga Rasulullah hampir tidak bisa melihat kepala orang itu karena tingginya. Di sekeliling orang tinggi itu banyak sekali anak-anak yang tidak pernah Rasul lihat sebegitu banyaknya.
Melihat itu, Rasulullah kembali bertanya, “Apa ini? Dan siapa mereka?”
Kedua tamunya menjawab, “Menjauhlah, menjauhlah!”
Maka mereka pun pergi berlalu. Lalu mereka menyaksikan sebuah pohon yang amat besar, yang tidak pernah Rasul lihat pohon yang lebih besar dari ini. Pohon ini juga indah. Kedua tamu Rasul berkata, “Naiklah ke pohon itu!”
Lalu mereka pun memanjatnya. Rasul dituntun menaiki pohon dan dimasukkannya ke dalam sebuah rumah yang sangat indah yang tak pernah Rasul lihat seumpamanya. Di dalamnya terdapat lelaki tua dan muda. Lalu mereka sampai pada sebuah kota yang dibangun dengan batu bata dari emas dan perak. Mereka mendatangi pintu gerbang kota itu. Tiba-tiba pintu terbuka dan mereka memasukinya. Mereka disambut oleh beberapa orang, sebagian mereka adalah sebaik-baik bentuk dan rupa yang pernah kita lihat, dan sebagiannya lagi adalah orang yang seburuk-buruk rupa yang pernah kita lihat. Kedua tamu yang bersama Rasulullah berkata kepada orang-orang itu, “Pergilah, dan terjunlah ke sungai itu!”
Ternyata ada sungai terbentang yang airnya sangat putih jernih. Mereka pun segera pergi dan menceburkan dirinya masing-masing ke dalam sungai itu. Kemudian mereka kembali kepada Rasululullah dan dua tamunya. Kejelekan serta keburukan rupa mereka tampak telah sirna, bahkan mereka dalam keadaan sebaik-baik rupa!
Lalu kedua orang tamu Rasulullah berkata, “Ini adalah Surga ‘Adn, dan inilah tempat tinggalmu!”
“Rumah pertama yang kau lihat adalah rumah orang-orang mukmin kebanyakan, adapun rumah ini adalah rumah para syuhada’, sedangkan aku adalah Jibril dan ini Mika’il. Maka angkatlah mukamu (pandanganmu).”
Maka mata Rasulullah langsung menatap ke atas, ternyata sebuah istana bagai awan yang sangat putih. Kedua tamu Rasulullah berkata lagi, “Inilah tempat tinggalmu!”
Rasulullah berkata kepada mereka, “Semoga Allah memberkati kalian.”
Kedua tamu itu lalu hendak meninggalkan Rasulullah. Maka Rasulullah pun segera ingin masuk ke dalamnya, tetapi kedua tamu itu segera berkata, “Tidak sekarang engkau memasukinya!”
“Aku telah melihat banyak keajaiban sejak semalam, apakah yang kulihat itu?” tanya Rasulullah kepada mereka.
Keduanya menjawab, “Kami akan memberitakan kepadamu. Adapun orang yang pertama kau datangi, yang remuk kepalanya ditimpa batu, dia itu adalah orang yang membaca Al Qur’an tetapi ia berpaling darinya, tidur di kala waktu shalat fardhu (melalaikannya). Adapun orang yang digergaji mukanya sehingga mulut, tenggorokan, dan matanya tembus ke tengkuknya, adalah orang yang keluar dari rumahnya dan berdusta dengan sekali-kali dusta yang menyebar ke seluruh penjuru. Adapun orang laki-laki dan perempuan yang berada dalam semacam bangunan tungku, maka mereka adalah para pezina. Adapun orang yang kamu datangi sedang berenang di sungai dan dijejali batu, maka ia adalah pemakan riba. Adapun orang yang sangat buruk penampilannya dan di sampingnya ada api yang ia kobarkan dan ia mengitarinya, itu adalah malaikat penjaga neraka jahannam.
Adapun orang yang tinggi sekali, yang ada di tengah-tengah taman, itu adalah Ibrahim AS. Sedangkan anak-anak di sekelilingnya adalah setiap bayi yang mati dalam keadaan fitrah.”

Lalu di sela-sela penyampaian cerita ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan anak orang-orang musyrik?”
Rasulullah menjawab, “Dan anak orang-orang musyrik.”
Lalu Rasulullah SAW melanjutkan ceritanya.
Adapun orang-orang yang sebagian mukanya bagus, dan sebagian yang lain mukanya jelek, mereka itu adalah orang-orang yang mencampuradukan antara amalan shalih dan amalan buruk, maka Allah mengampuni kejelekan mereka.
Barang siapa yang beriman dan percaya kepada-Nya, iman yang benar dan percaya yang sungguh-sungguh, serta mengaku dan menetapkan kewahdaniatan-Nya (keesaan-Nya), mengaku dan menetapkan dengan sepenuh hatinya kerasulan Nabi Muhammad serta menerima dan melaksanakan apa saja yang datang dari beliau, maka Allah Swt. akan menempatkannya di dalam surga, suatu tempat nikmat dan kurnia yang maha besar lagi kekal dan abadi.

Dapatlah kita ambil pengertian bahwa, sudah tentu tidaklah cukup dengan, hanya semata-mata penyaksian lisan saja, sebab yang dinamakan "iman" adalah I'tiqad dan percaya dengan hati, pengakuan dengan lidah, dan pelaksanaan dengan seluruh anggota. kalau sudah percaya dengan hati akan ke-Esaan Allah, dan diucapkannya pula pengakuan itu dengan lidahnya (dua kalimah syahadat), hendaklah ia melaksanakan semua ajaran yang berupa perintah dan larangan Allah, dengan tulus ikhlas dan sepenuh hati. dengan demikian barulah ia berhak mendapatkan surga seperti yang telah dijanjikan dalam Hadits Qudsi di atas.

Syahadat-Tauhid atau penyaksian terhadap ke-Esaan Allah dengan ucapan "La Ilaha Illallah" itu, menuntut beberapa hak' beberapa ketentuan, dan beberapa kewajiban. demikian juga Syahadaturrisalah " anna Muhammadur-rasulullah", menuntut keharusan mengikuti petunjuk beliau dan melaksanakan sunnahnya. Barangsiapa yang telah memenuhi syarat-syarat terebut, dengan penuh keikhlasan, ia berhak mendapatkan surga sebagai mana yang telah dijanjikan.


Orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab.

Orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab (diperhitungkan amalnya) adalah mereka yang beriman, bertakwa dan beramal shalih secara istiqamah. mereka ini tidak dihitung, tidak ditimbang dan tidak ada catatan amal perbuatan kecuali tertulis di dalam-Nya " Pembebasan dari Allah dan Rasul-Nya". Mereka ini adalah kelompok pertama yang telah kita bicarakan pada lembaran yang lalu, dimana Rasulullah Saw menerangkan sifat mereka.

Diriwayatkan dari Abu Hazim, dari sahal bin Sa'ad bahwa Rasulullah Saw bersabda, yang artinya yaitu " Akan masuk surga 70 ribu orang atau 700 ribu Abu hazim tidak tahu dengan tepat mana yang beliau sabdakan dari umat Nabi Muhammad Saw, dalam keadaan berpegangan antara satu sama lain. Orang yang pertama tidak akan masuk sehingga orang yang terakhir dari mereka memasukinya. wajah mereka diibaratkan seperti bulan bulan di malam purnama.

Diriwayatkan dari Abu Bakar RA, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda,: yang artinya" Aku diberikan 70 ribu orang dari umatku yang masuk surga tanpa dihisab. wajah mereka seperti bulan di malam purnama, dan hati mereka adalah hati satu orang. maka aku minta tambahan kepada Tuhanku, lalu dia menambahkanku, bersama setiap orang 70 ribu orang." (HR. Ahmad)

Diriwayatkan dari Umamah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, yang artinya" Tuhanku menjanjikanku, 70 ribu umatku masuk surga tanpa dihisab dan tanpa siksaan, bersama setiap 70 ribu dan tiga genggaman dari genggaman Tuhanku." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Di dalam hadits ini Rasulullah Saw menerangkan sifat orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab atau ditimbang, mereka ini berjumlah 70 ribu, serta bersama mereka tiga genggaman dari genggaman Tuhan semesta alam.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Nabi Saw bersabda, yang artinya " Aku telah diperlihatkan oleh Allah beberapa golongan umat manusia. Maka, aku melihat seorang Nabi bersama satu kumpulan manusia, mereka itu tidak lebih dari 10 orang, seorang nabi bersama seorang lelaki atau dua orang lelaki, dan seorang nabi tanpa ada seorang pun bersamanya. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku satu kumpulan yang ramai. Aku menyangka mereka dari kalangan uamtku. tetapi dikatakan kepadaku, " Mereka adalah Nabi Musa as dan kaumnya. lihatlah ke ufuk! ' Lalu aku pun melihatnya, ternyata terdapat satu kumpulan yang ramai. Dikatakan lagi kepadaku, ' lihatlah ke ufuk yang lain'. ternyata di sana juga terdapat satu kumpulan yang ramai. Dikatakan kepadaku, ' Ini adalah umatmu dan bersama mereka ada 70 ribu orang yang akan memasuki surga tanpa dihisab dan diadzab."

Kemudian Rasulullah Saw bangkit, lalu masuk ke dalam rumahnya. orang ramai berbincang, mengenai mereka yang akan dimasukkan ke dalam surga tanpa dihisab dan diadzab. kemudian setengah dari mereka berkata, " Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama Rasullullah Saw." Ada pula yang mengatakan, " Mungkin mereka adalah oarng-orang yang dilahirkan dalam islam dan tidak pernah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah." Mereka mengemukakan pendapat masing-masing. ketika itu Rasulullah Saw keluar menemui mereka lalu bertanya, " Apa yang telah kamu perbincangkan? ' Mereka pun menerangkan keadaan tersebut. maka Rasulullah Saw bersabda, " Mereka adalah oarng-orang yang tidak berputusasa hingga malas beramal, dan hanya kepada Allah mereka bertawakal."

Ukasyah bin Mihsan berdiri lalu berkata, " Doakanlah kepada Allah semoga aku termasuk kalangan mereka." Rasulullah Saw bersabda, " Kamu termasuk dari kalangan mereka."

Kemudian berdiri seorang lelaki yang lain, lalu berkata, " Berdoalah kepada Allah semoga aku termasuk dari kalangan mereka. " Rasulullah Saw bersabda, yang artinya
' Ukasyah telah mendahului kamu. "(Muttafaq alaih)

Kelompok yang tidak dihisab dan yang masuk surga tanpa dihisab ini mempunyai criteria di dalam surah Al-Waaqi'ah, di mana Allah Swt menyifati mereka sebagai orang-orang yang paling dulu masuk islam, yang dekat di sisi Allah Swt di surga-surga yang penuh dengan kenikmatan, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang terdahulu dan sedikit dari kalangan orang-orang terakhir, yaitu orang-orang yang Allah Swt tanamkan kemuliaan mereka dengan kedua tangan-Nya karena kecintaan, penghargaan dan pengagungan-Nya kepada mereka, di mana mereka sebagai symbol yang tinggi dalam keimanan, amal shalih, jihad, ilmu, pemberian, kepedulian, kelembutan hati, kecintaan, penepatan janji dan akhlak yang terpuji.




Allah Swt berfirman

       • •    •     
Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka Itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan, Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. (QS: al-Waaqi'ah: 10-14)

dari rangkaian uraian di atas merupakan suatu informasi kepada kita jalan apa sajakah yang dapat kita tempuh agar mencapai surga Allah, dengan keridhaannya terhadap kita, itu merupakan suatu penunjuk jalan kepada kita sebagai umat islam agar dapat masuk ke dalam surganya Allah Swt dengan cara yang dimuliakan oleh Allah Swt.

Apabila kita sadari, bahwa kita hidup di dunia ini hanya sementara pasti akan berakhir, namun batas ajal kita tidaklah jelas, kita tidak tahu kapan kita akan meninggal, yang dapat kita lakukan hari ini, barangkali besok pagi sudah tidak bisa kita lakukan lagi, hari ini adalah amal tanpa hisab dan besok hisab tanpa amal. apabila kesempatan hari ini tidak dimanfaatkan seorang muslim untuk menggapai ridhonya Allah Swt yang pada akhirnya kita akan dimasukkan ke dalam surganya Allah apabila Allah telah ridho kepada kita, maka bisa jadi besok pagi sudah tidak ada lagi kesempatan baginya.




















Daftar Pustaka


Usman Ali, A.Dahlan. dan M.D. Dahlan, Hadits Qudsi, Bandung: Diponegoro, 2005
Mahir Ash-Shufi Ahmad, Ensiklopedia Surga, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005
Shulha Salma, La Tahzan For Muslimah, Bandung: Mizan Media Utama, 2007
Muhammad Al-Mashiri dan Muhammad Saleh Al-Munajjid, 2006, Panggilan 8 Pintu dan Keajaiban Surga, Jakarta: Embun Publishing.

Selasa, April 28, 2009

nikah

PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF ALQURAN
1.Pendahuluan
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Rumah tangga Muslim merupakan tiang kehidupan sosial. Jika unsur individu sudah baik juga. Jika sebuah keluarga sudah baik, maka masyarakat akan baik. Dan rumah tangga muslim merupakan tempat yang efektif untuk melaksanakan praktik pendidikan dan pengajaran tentang Islam dan syi'ar-syi'arnya. Dari tengah rumah tangga ini tumbuh kasih sayang dan hikmah. Dan dari masing-masing individu lahirlah cinta kasih sayang, kemuliaan, kedermawanan dan perlindungan hak-hak dalam hidup. Di antara bentuk sikap atau perbuatan yang semestinya di jadikan 'perhiasan' sehari-hari oleh rumah tangga dalam rangka menampilkan nilai-nilai luhur Islam dan menjaga ketentraman dan keamanan masyarakat adalah senang kepada kesucian dan kebersihan. Oleh karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan dijelaskan sedikit tentang, konsep pernikahan dalam Al-quran, tujuan pernikahan, dan hikmah nikah.
2.Pengertian
Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak kurang lebih dalam 17 ayat Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad) perkawinan
Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus
Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.
Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal hibah. Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping masalah kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram (mahram atau muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti itu tidak dikemukakan dalam definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan dalam persyaratan nikah.
Perkawinan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan
Allah berfirman di dalam al-Qur'an surat ad-Dzariat: 49
       
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.

Firman-Nya pula dalam surat yasiin: 36
             
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siapmelakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.



Firman Allah dalam surat al-Hujuraat: 13
 ••      
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
Firman Allah pula dalam surat an-Nisa: 1
 ••                
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.

Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.

Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks), memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.

Pergaulan suami-isteri diletakkan di bawah naungan naluri keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan membuahkan buah yang bagus.

Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya.

3.Tujuan Pernikahan
Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah (artinya ) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka.

4.Hikmah Nikah
Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda), dari belakang juga demikian. Apabila seorang lelaki tergoda oleh seorang wanita, maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya, karena hal itu akan dapat menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).
2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain di akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal).
3. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.
4. Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.
5. Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.
6. Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak.
7. Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
8. Dengan menikah kita juga dapat mendapatkan anak yang shalih dan mematahkan syahwat, kita juga dapat mengatur rumah tangga, memperbanyak keluarga dan mendapat pahala atas jerih payah memberi nafkah bagi mereka. jika anaknya shalih, maka ia mendapat berkah doanya dan jika anak-nya wafat, maka ia menjadi pemberi syafa'at baginya.
Oleh karena itu, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa untuk memulai suatu perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-cita rumah tangga sakinah. Langkah-langkah itu dimulai dari peminangan (khitbah) calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat calon istri; sebaliknya, pihak wanita juga berhak melihat dan menilai calon suaminya itu dari segi keserasiannya (kafaah). Masih dalam pendahuluan perkawinan ini, menurut ulama fiqh, Islam juga mengingatkan agar wanita yang dipilih bukan orang yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai rangkaian pendahuluan perkawinan ini, menurut Muhammad Zaid al-Ibyani (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul kendala yang akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah.

5. Kewajiban suami kepada isteri
1. Adil :
• Kodrat wanita ‘bengkok’ : dikeraskan bisa patah, dilunakkan tetap bengkok.
• Dalam memutuskan keputusan yg berhubungan dg rumah tangga dilarang dalam keadaan marah, karena yang dominan adalah hawa nafsu.
• Fenomena poligami di dunia arab telah didukung oleh kemampanan ekonomi suami, sehingga sikap adil dalam pemberian nafkah ekonomi bisa diberikan maksimal. Adil juga dalam kasih sayang terhadap istri-istri.
2. Pemimpin
• Visi dan misi berumah tangga adalah mewujudkan keluarga Sakinah Mawadadah wa Rahmah.
• Juga untuk mewujudkan keluarga yang dekat da mengenal Allah swt, dan menjadi tanggung jawab suami untuk membawa istri dan anak-anak kepada Tauhid sebagai pertanggungjawaban nanti di akhirat (QS : Wahai orang –orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka).
3. Pemberi Nafkah
Ternyata suami punya tugas berat terhadap keluarganya, mencari nafkah, mengelola rumah tangga. Seyogyanya suami mampu memberikan nafkah sebagaimana sang istri terima ketika masa gadisnya oleh orang tuanya. tapi Jika isteri mampu bersikap sabar dengan segala keterbatasan suami, itulah kebaikan yang besar bagi sang istri.
4. Pendidikan Isteri
Istri juga berhak mendapatkan pendidikan, jika suami sudah S3 tak salah pula untuk menyekolahkan istri lebih tinggi. Jika istri tak bisa mengaji menjadi kewajiban suami untuk mengajarkan atau mencarikan lembaga pendidikan supaya bisa menjadi bisa mengaji.
5. Pelindung Keluarga
6. Bergaul dengan lembah lembut.
Allah berfirman di dalam surat an-Nisaa ayat 19
  
dan bergaullah dengan mereka secara patut.


Kelembutan suami dalam berhubungan dengan kolega kantor hendaknya juga menjadi sikap yang sama pada istri di rumah tangga.
Tipe-tipe keluarga: Keluarga kayak kubur (sunyi, senyap), keluarga masjid ( istri dan suami saling mengajak kepada Allah).

7. Sabar
8. Membayar mahar, (makan, pakaian, tempat tinggal)
9. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
Allah berfirman di dalam surat an-Nisaa ayat 34
                                       •     
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannyaSesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
10. Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.).

6. kewajiban isteri terhadap suaminya
1: Istri yang sholeh adalah yang taat pada perintah Allah, yang menunjukkan perempuan tersebut selalu ingat pada Tuhannya.
2: Istri yang ceria itu enak dipandang, karena dia bisa merawat diri dan menjaga perbuatannya. Perempuan yang berhias di dalam rumah itu membahagiakan.
3: Istri sepatutnya selalu taat pada suami, sepanjang tidak melawan kesukaan Allah. Hal ini menunjukkan karakternya yang tulus, yang berlawanan dengan kesombongan.
4: Istri yang membantu suami dalam memenuhi janji pernikahannya, sepanjang tidak bertentangan dengan kesukaan Allah. Ini menunjukkan loyalitas.
5: Istri mesti menjaga kesuciannya, dengan melindungi kehormatan suaminya. Ini menunjukkan bahwa sang istri layak dipercaya. Ini adalah sangat penting dalam pernikahan, dan bisa berakibat menguatnya atau runtuhnya pernikahan. Ini akan mempengaruhi kedamaian hati suami dan akan sangat menggangu keberhasilannya baik di dalam maupun di luar rumah.
6: Istri menjaga kekayaan dan harta milik suami, dengan secara bijak mengolah apa yang dipercayakan padanya. Ini menunjukkan sang istri cerdas dan handal, karena istri menunjukkan kebolehannya dalam urusan suami. Ini adalah karakter luar biasa, yang sangat dibutuhkan suami yang ingin terus meningkatkan posisi keluarga di masyarakat.
7: Istri mengasuh anak-anak suaminya seperti yang diinginkan sang suami. Hal ini menunjukkan sang istri sangat mengasihi dan menyayangi, dan anak-anaknya menjadi prioritas utama.
8: Istri yang di saat ditinggal suaminya menolak orang lain masuk rumah tanpa ijin sang suami. Keluarga istri selalu diijinkan, kecuali yang dilarang oleh sang suami. Juga, di saat suami pergi, sang istri bisa menerima saudara laki-laki suami masuk rumah; namun dia hanya boleh masuk sampai ruangan khusus, seperti ruang tamu, dan saudara ipar tersebut tidak boleh berduaan dengan sang istri. Contoh lainnya, sang istri tidak semestinya meninggalkan rumah suami tanpa ijin. Sekalipun perempuan diperbolehkan untuk datang ke Masjid, namun mereka harus mendapatkan ijin dari suami sebelum berangkat ke Masjid atau hendak beribadah puasa.
9: Istri yang tidak menolak saat dipanggil suami ke tempat tidur. Pekerjaan istri di rumah memang berat, namun begitu juga godaan yang dihadapi suami di luar rumah di setiap harinya. Jadi, seorang istri yang bijak akan mengerti bagaimana caranya untuk melegakan sang suami, dengan diantaranya memenuhi hasrat suami.
10: Istri berlaku ramah pada orang tua suami. Artinya, sang istri menunjukkan keramahan pada orang tuanya, sebagaimana menantu yang baik berperilaku, dengan setia melayani mereka. Perbuatan semacam ini memperkuat ikatan suami istri, karena hal ini menunjukkan penghormatan.
dua nilai penting bagi suami, yang ingin memiliki keturunan yang baik dan ingin memberikan anak mereka pasangan hidup yang baik. Yang pertama adalah untuk orang tua terutama sang bapak yang menginginkan anak-anak yang patuh, mesti menjaga perilakunya, atau anak-anaknya akan tumbuh menjadi tidak patuh. Orang tua tidak bisa memberikan pada mereka apa yang mereka tidak punyai. Yang kedua adalah pada sahabat Rasulullah, di saat mereka membawa calon pengantin perempuan pada suaminya, menasehati mereka untuk melayani suami, dan berbuat baik pada orang tuanya.
7. Pesan-pesan di dalam pernikahan

1. CINTA.
Cinta itu adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan ini boleh jadi disebabkan lezatnya yang dicintai atau karena manfaat yang diperoleh daripadanya. Cinta sejati antar manusia terjalin bila ada sifat-sifat pada yang dicintai sesuai dengan sifat yang didambakannya. Rasa inilah yang menjalin pertemuan antara kedua pihak dalam saat yang sama dicintai dan mencintai

2. MAWADDAH:
Yaitu sesuatu di atas cinta yang seharusnya mengikat hubungan suami istri. Tahukah ananda berdua, apa yang disebut mawaddah itu ?
Mawaddah, maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan . Kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Demikian menurut pakar M. Quraish Shihab. Mawaddah itu adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, disamping akan terus berusaha mendekat dan mendekat- sesekali hatinya kesal juga, sehingga cintanya pudar, bahkan putus. Sedang bagi orang yang didalam hatinya bersemi mawaddah atau cinta plus itu, dia tidak akan memutuskan hubungan, seperti yang biasa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintunya pun sudah tertutup, tidak bisa dihinggapi keburukan lahir dan batin, yang mungkin datang dari pasangannya. Mawaddah adalah cinta plus yang tampak dampaknya pada perlakuan, serupa dengan tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat kepada seseorang.


3. RAHMAH.
Rahmah adalah kondisi psikologis, yang muncul di dalam hati, akibat menyaksikan ketidak berdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Karena itu, dalam kehidupan keluarga masing-masing suami dan istri akan bersunguh-sungguh , bahkan bersusah payah, demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya.
Rahmah itu menghasilkan kesabaran......., murah hati, tidak angkuh, tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, tidak pemarah dan tidak pendendam. Ia menutupi segala sesuatu dan sabar menanggung segalanya. Sementara mawaddah tidak mengenal batas dan tidak berkesudahan.
Mengapa Al Quranul Karim menggaris bawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan. Agaknya karena betapapun hebatnya seseorang, pasti dia memiliki kelemahan. Dan betapapun lemahnya seseorang pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.



Allah berfirman di dalam al-Quran surat an-Nisaa ayat 1
 ••           
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya

Firman-firman tersebut mengandung isyarat, bahwa suami dan istri harus dapat menjadi diri pasangannya dalam arti masing-masing harus merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasangannya dan masing-masing harus mampu memenuhi kebutuhan pasangannya itu.
Allah berfirman di dalam surat al-Baqarah ayat 187
  •  

Istri-istri kamu adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian mereka
Ayat tersebut tidak hanya mengisyaratkan, bahwa suami dan istri saling membutuhkan, melainkan juga berarti, suami dan istri masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan, harus dapat berfungsi menutup kekurangan pasangannya itu.

4. AMANAH
Istri adalah amanah bagi sang suami dan suamipun amanah bagi sang istri. Tidak mungkin orang tua kalian dan keluarga kalian masing-masing akan merestui pernikahan ini tanpa adanya rasa percaya dan aman. Suami, demikian juga istri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Penikahan ini bukan hanya amanat dari mereka, melainkan juga amanat dari Allah swt. Bukankah ia dijalin atas nama Allah dengan menggunakan kalimat-Nya. Ananda tahu bahwa menikah adalah diperintahkan dan disunnahkan. Sekarang ketahuilah, bahwa syariat pernikahan sama sekali tak akan mendatangkan kebahagiaan dan mencapai tujuannya selain dengan menikahi wanita yang taat beragama dan memegang teguh moral mulia. isteri adalah partner hidup, ibu anak-anak, dan mereka akan tumbuh bersamanya dan mengekor kebiasaannya tersebut.

Ada sebuah kisah
Ada seorang pria datang kepada sayyidina Umar ra. dan menyampaikan rencananya menceraikan istrinya.
Umar, Khalifah Rasulullah Saw yang kedua itu berkomentar antara lain:
Dimana engkau letakkan amanah yang telah engkau terima itu.
Lalu beliau membaca firman Allah dalam surat an-Nisaa ayat 19
            

Seandainya kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah/jangan ceraikan). Mungkin kamu tidak mrnyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Ananda calon suami istri, serta hadirin Rahimakumullah
Amanah itu terpelihara dengan mengingat Allah. Kebesaran, kekuasaan dan kemurahan-Nya. Ia dipelihara dengan melaksanakan tuntunan agama. Siramilah amanah itu dengan shalat walau pun hanya lima kali sehari.

Ananda calon suami isteri yang berbahagia
Camkan beberapa ketentuan dan nasehat berikut ini:
Firman Allah di dalam surat al-Maidah ayat 1
                    •     

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad perjanjian
Firman Allah di dalam surat at-Thalaq ayat 6

          
Tempatkanlah mereka (istri) itu dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.

Firman Allah di dalam surat al-Baqarah ayat 228
             
Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Tahukah ananda, apa yang dimaksud dengan satu tingkatan derajat itu?
Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istri untuk meringankan sebagian kewajiban istri

8.Hukum Perkawinan Negara Muslim
Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke-20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut di atas, yaitu masalah batas umur untuk kawin, masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian.

Jadi apabila kita akan melaksanakan pernikahan merupakan sunnah Rasulullah Saw, yang di mana syariatnya telah diajarkan di dalam agama kita, yaitu agama Islam sudah kewajiban bagi kita apabila kita hendak nikah itu mengikuti petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah.


























DAFTAR PUSTAKA


Hamd Raqith Hasan, , 1997, Merengkuh Cahaya Ilahi, Yogyakarta: DIVA Press
Sabiq Sayyid, 1980, Fikih Sunnah 6, Bandung: Alma'arif
Al-Ghazali, 1986, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani
Muhammad Adhim Fauzil, 2007, Saatnya untuk Menikah, Yogyakarta: Pro U-Media.
Muhammad bin Al-Hamad Ibrahim, 2004, Apa Salahku Hingga Perkawinan Tak Mendatangkan Bahagia, Magelang: ICB Press.

maraknya riba

MARAKNYA RIBA


Para hadirin yang mudah-mudahan dirahmati oleh Allah Swt

Dalam kesempatan kali ini, saya ingin membicarakan tentang riba, yang dimana seperti kita ketahui bahwa riba itu merupakan bukan hal yang baru lagi bagi kita. Semoga dengan penjelasan yang akan saya sampaikan ini bisa berguna untuk sedikit menambah wawasan para hadirin sekalian tentang riba.

Para hadirin yang mudah-mudahan dirahmati oleh Allah Swt

Di zaman sekarang ini, di tengah-tengah kehidupan kita, banyak kita amati praktek-praktek riba, yang telah tersebar di dalam lingkungan kita, namun hal itu sering tidak kita sadari bahwa ternyata kita hidup di tengah-tengah manusia yang secara nyata menjalankan perintah agama, namun mereka juga secara nyata terus-menerus mengerjakan dosa besar, jadi istilahnya STMJ yang artinya sholat terus maksiat jalan, seperti lebih jelasnya kita lihat di lingkungan kita sendiri, kalau kita amati ternyata praktek-praktek riba yang telah berjalan itu, dijalankan secara kerjasama oleh masyarakat yang bersangkutan. Namun alangkah ironisnya yang perlu kita garis bawahi bahwa mereka berpikiran dengan melakukan praktek riba itu, mereka seolah-seolah merasa bisa membantu masyarakat yang membutuhkan uang. Padahal kita tahu, apabila dia memang betul-betul mempunyai tujuan untuk membantu masyarakat di sekitarnya yang sedang membutuhkan uang, maka seharusnya dia meminjami uang kepada masyarakat yang membutuhkan itu, dengan tidak mengambil bunga dari uang yang dipinjamkannya itu baru bisa dikatakan dia benar-benar membantu masyarakat. Karena dengan dia mengambil bunga kepada masyarakat maka berarti dia tidak mempunyai tujuan murni untuk benar-benar membantu, namun dia mempunyai tujuan lain selain membantu yaitu tujuan untuk menambah jumlah uangnya, atau bisa dikatakan dia ingin juga mengambil keuntungan materi dari uang yang dipinjam kepada orang yang meminjamnya. Akan tetapi setelah kita telusuri ternyata walaupun para rentenir itu meminjamkan uang dengan mengambil bunga yang tinggi, ternyata mengapa kok masih banyak masyarakat yang meminjamnya? jawabnya karena masyarakat yang meminjamnya itu benar-benar dihimpit dengan keadaan ekonomi yang menekannya, sehingga ia terpaksa meminjam uang kepada rentenir walaupun ia harus mengembalikan uang beserta bunganya yang besar. Namun ia tidak peduli yang penting ia bisa sejenak untuk keluar dari kesulitan ekonomi yang menghimpitnya, namun ia juga sadar bahwa ia juga telah masuk kepada lubang yang lain yang baru saja ia gali dengan meminjam uang kepada rentenir dengan bunga yang tinggi, tapi mau bagaimana lagi di zaman sekarang ini memang sangat susah sekali untuk mencari pinjaman uang tanpa bunga yang ada kebanyakan adalah kita meminjam uang dengan bunga itu sudah menjadi hal yang telah biasa di dalam kehidupan kita. Pada akhirnya yang kesusahan adalah masyarakat yang meminjam uang kepada rentenir itu sendiri. Sedangkan sang rentenir bertambah kaya tetapi masyarakat yang meminjam uang kepada rentenir bertambah miskin sangat menyedihkan sekali hal itu, semoga kita bisa selalu meningkatkan rasa empati kepada saudara-saudara kita semuslim yang sedang mengalami kesusahan karena terpaksa berhutang kepada para rentenir.
Para hadirin yang mudah-mudahan dirahmati oleh Allah Swt

Saat ini yang sangat perlu kita ketahui adalah bahwa riba itu haram baik kita tinjau dari firman Allah, hadits Nabi, pendapat para ulama dan lembaga-lembaga fatwa di berbagai Negara. Kita pun menyadari bahwa diantara praktek riba yang paling jelas di tengah-tengah masyarakat kita, adalah kegiatan meminjamkan uang dengan bunga atau yang dikenal dengan rentenir. Namun seiring dengan perkembangan zaman praktek-praktek riba juga berkembang dan merambah ke berbagai sendi kehidupan, ada yang jelas bentuknya dan ada yang samar, sebelum kita membahas lebih dalam marilah kita pahami definisi dari riba. Riba adalah pertumbuhan atau tambahan, baik dalam kebaikan maupun kebutuhan, sedangkan dalam istilah fikih riba diartikan sebagai tambahan atas harta pokok (modal) yang dipinjamkan sebagai kompensasi atas perbedaan waktu yang ada. sedangkan kita ketahui bahwa semua agama samawi mengharamkan riba agama (Islam, Yahudi, dan Nasharani) berikut ini pandangan al-Qur'an mengenai hukum riba

Allah berfirman dalam surat al-Imran ayat 130
         •    
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

di dalam ayat tersebut Allah menjelaskan kepada kita, bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman untuk mengambil keuntungan yang didapat dari hasil riba, yang dapat menyengsarakan orang lain, dan kemudian Allah memerintahkan, kepada kita untuk bertaqwa kepadanya yaitu menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya termasuk tidak melakukan praktek riba, agar kita mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat.

Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 275-281

                      •                       •               •    •        •                                      •                        •           •     
Artinya:
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gilaKeadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

di dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang melakukan praktek riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila, mengapa Allah menyebut demikian karena orang yang melakukan praktek riba itu menyamakan dirinya dengan melakukan jual-beli padahal secara tegas Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba dan Allah juga mencela orang-orang yang terus melanggar larangan-Nya, termasuk terus mnerus melakukan riba. Bagi Allah mereka adalah orang-orang yangbertempat tinggal dineraka danmereka kekal di dalmnya. Seseungguhnya Allah menyuburkan sedekah dan memusnahkan riba dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh maka mereka akan mendapatkan pahala dari sisi tuhannya, dan apabila kita bertobat dari pengambilan riba maka kita tidak dianiaya dan menganiaya, dan apabila oarngyang berhutang itu belum sanggup melunasi hutang karena kesukaran maka beri tangguhlah kepadanya hingga dia berkelapangan, dan apabila kita mengikhlaskan itu lebih baik bagi kita, dan pada akhirnya nanti seseorang itu akan menuai apa yang dikerjakannya.

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Nabi Saw. bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan.” Para sahabat bertanya, “Apa saja wahai Rasul?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukmin yang menjaga diri.” (HR. Bukhari Muslim)

Tindakan riba tidak terbatas hanya orang yang memakannya, menambah atau orang yang mewakilkannya. Tetapi, riba juga mencakup setiap orang yang menulis dan orang yang menjadi saksi. Mereka semua sama dengan orang yang makan atau yang mewakili riba.
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra. Nabi Saw menyatakan, “ bahwa sesungguhnya Riba itu memiliki 73 pintu, sedangkan Yang paling ringan adalah seperti seorang lelaki menikahi ibunya sendiri. sedangkan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim.”

Jabir ra. berkata, “Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda yang artinya, "Mereka itu sama." (HR. Bukhari Muslim)

Oleh sebab itu, para ulama mengharamkan bekerja di beberapa bank yang memberlakukan sistem riba. Karena dia berarti membantu perbuatan batil yang diharamkan.

Nash-nash diatas baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah telah dengan tegas menyatakan kepada kita bahwa riba merupakan suatu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, sudah selayaknyalah kita sebagai orang muslim yang beriman kepada Allah untuk menjauhi perbuatan tersebut, agar kita termasuk salah satu orang yang beruntung baik di dunia maupun di akhirat.

Para hadirin yang mudah-mudahan dirahmati oleh Allah Swt

ada beberapa metode Islami yang digunakan untuk menanggulangi praktek riba dengan menginrormasikan kepada masyarakat kembali tentang:

1. Bagaimana pandangan al-Qur'an dan as-Sunnah tentang hukum riba.
2. Riba dapat menumbuhkan rasa permusuhan di antara individu dan melemahkan nilai sosial dan kekeluargaan. Selain itu, riba dapat menimbulkan eksploitasi dan tindak kezaliman pada pihak tertentu.
3. Menumbuhkan sikap pemalas bagi orang yang mempunyai modal, di mana dia mampu mendapatkan uang banyak tanpa adanya sebuah usaha yang nyata.
4. Mendorong manusia untuk menimbun harta sambil menunggu adanya kenaikan interestrate.
5. Menimbulkan sifat elitisme dan jauh dari kehidupan masyarakat.
6. Membuat manusia lupa akan kewajiban hartanya seperti infak, sedekah dan zakat.
7. Betapa bahaya sistem riba yang dipakai di Negara Indonesia ini yang ternyata dapat tambah memperpuruk kondisi perekonomian yang ada di Indonesia.
8. Menghimbau kepada masyarakat kembali agar tidak membantu praktek-praktek riba seperti contohnya: tidak menabung uang di bank-bank yang memberlakukan sistem riba.
9. Dampak system ekonomi riba telah menimbulkan ketidakadilan terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan / tidak
10. Dampak sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang sebuah Negara.

Dari uraian di atas sudah jelaslah bahwa sebagai umat Islam kita mengetahui bahwa Allah dengan tegas melarang perbuatan riba tetapi menyuburkan sadaqah. Semoga kita selalu menjadi hamba Allah yang bertawakal yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya salah satu contoh menjauhi larangannya adalah tidak mengerjakan praktik riba yang sangat merugikan masyarakat yang meminjam uang.

Semoga pertemuan kali ini, membawa perubahan kepada kita, kearah yang lebih baik, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, semoga kita selalu diberikan oleh Allah kekuatan taufik dan hidayahnya untuk menjauhi perbuatan haram salah satunya adalah riba, yang termasuk dosa besar. Apabila ada tutur kata saya yang tidak berkenan di hati saudara mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhir kata dari saya.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Minggu, April 26, 2009

HAKIKAT SYUKUR DAN SABAR

HAKIKAT SYUKUR DAN SABAR


Allah Swt berfirman di dalam hadits Qudsi


يا عيى انى با عث من بعد ك ا مة ان اصا بحم ما يحبون حمد وا وشكروا وان اصا بهم ماايكرهون احتسبوا وصبروا ولاحلم ولا علم قل: يا رب كيف يكو ن هذ الهم ولا حلم ولاعلم؟ ق ل: اعطيهم من حلمى و علمى

" Wahai 'Isa! pasti Aku tinggalkan setelah kamu satu umat. apabila mereka peroleh yang mereka sukai, mereka memuji Allah dan bersyukur. Apabila mereka peroleh yang mereka tidak senangi, mereka tetap tekun dan shabar, padahal mereka tidak berlapang dada ataupun berilmu ' Isa berkata: " Ya Rabbi! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi kepada mereka, padahal mereka tidak berlapang dada ataupun berilmu?" Allah Swt. berfirman:" Aku beri mereka kelapangan dada dan ilmu dari sebagian sifat-Ku!" (HQR Ahmad, Thabarani dalam al-Kabir, al-Ausath dan al-hakim, Abu Na'im, Hakim dan Baihaqi yang bersumber dari Abid-Darda)"

Isa anak Maryam ialah seorang Rasul, beliau termasuk salah seorang Ulul-azmi di antara para Rasul. Sesuai dengan janji Allah kepadanya, Allah akan mengutus Rasul sebagai Rasul penutup yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebagai kurnia dan berita gembira kepadanya.

Allah Swt berfirman


Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (QS: as-Shaff: 6)

Nabi Isa a.s. disebut juga al-Masih atau kalimatullah atau Ruhullah. dalam al-Qur'an beliau mendapat julukan: Orang terkemuka di dunia dan Akhirat.

Beliau sendiri sebagai seorang yang menjadi tanda bukti kebesaran dan kekuasaan Allah Swt, karena dilahirkan oleh Maryam (seorang gadis) tanpa bapak. beliau memperoleh mu'jizat yang baik sekali dari Allah Swt.

Allah Swt. memberitakan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Isa anak Maryam a.s. bahwa nanti setelah periode beliau akan dilahirkan satu umat yang mempunyai keistimewaan besar, dan kedudukan yang mulia, yaitu umat Nabi Muhammad Saw. yang disebutkan dalam al-Qur'an sebagai berikut:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS: al-Imran: 110)

Kisah sahabat mengenai hakikat syukur dan sabar
Bagi orang yang sering mengamati isnad hadits maka nama Abu Qilabah bukanlah satu nama yang asing karena sering sekali ia disebutkan dalam isnad-isnad hadits, terutama karena ia adalah seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik yang merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu nama Abu Qilabah sering berulang-ulang seiring dengan sering diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqoot menyebutkan kisah yang ajaib dan menakjubkan tentangnya yang menunjukkan akan kuatnya keimanannya kepada Allah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari Al-Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin Al-Huwairits –radhiallahu ‘anhuma-. Beliau wafat di negeri Syam pada tahun 104 Hijriah pada masa kekuasaan Yazid bin Abdil malik.
Abdullah bin Muhammad berkata, “Aku keluar menuju tepi pantai dalam rangka untuk mengawasi (menjaga) kawasan pantai (dari kedatangan musuh)…tatkala aku tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai) dan di dataran tersebut terdapat sebuah kemah yang di dalamnya ada seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya, dan pendengarannya telah lemah serta matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya kecuali lisannya, orang itu berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”“
Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini, apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya??.
Maka akupun mendatanginya lalu aku mengucapkan salam kepadanya, lalu kukatakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berkata, “Ya Allah, tunjukilah aku agar aku bisa memujiMu sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan Engkau sungguh telah melebihkan aku diatas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan“, maka nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?? dan kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu hingga engkau mensyukurinya??”
Orang itu berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah dilakukan oleh Robku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku hingga membakar tubuhku atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku hingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah hal itu kecuali semakin membuat aku bersyukur kepadaNya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidah (lisan)ku ini. Namun, wahai hamba Allah, engkau telah mendatangiku maka aku perlu bantuanmu, engkau telah melihat kondisiku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang putra yang selalu melayaniku, di saat tiba waktu sholat ia mewudhukan aku, jika aku lapar maka ia menyuapiku, jika aku haus maka ia memberikan aku minum, namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya. Maka tolonglah aku, carilah kabar tentangnya –semoga Allah merahmati engkau-”.
Aku berkata, “Demi Allah tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya yang ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau”.
Maka akupun berjalan mencari putra orang tersebut hingga tidak jauh dari situ aku sampai di suatu gundukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati putra orang tersebut telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’uun. Aku berkata, “Bagaimana aku mengabarkan hal ini kepada orang tersebut??”. Dan tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub ‘alaihi as-Salam. Lalu aku menemui orang tersebut dan akupun mengucapkan salam kepadanya lalu ia menjawab salamku dan berkata, “Bukankah engkau adalah orang yang tadi menemuiku?”, aku berkata, “Benar”. Ia berkata, “Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”.
Akupun berkata kepadanya, “Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub ‘alaihis Salam?”, ia berkata, “Tentu Nabi Ayyub ‘alaihis Salam “, aku berkata, “Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub?, bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”, orang itu berkata, “Tentu aku tahu”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”, ia berkata, “Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah”.
Aku berkata, “Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya”. Ia berkata, “Benar”. Aku berkata, “Bagaimanakah sikapnya?”, ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah”. Aku berkata, “Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau akan hal itu?”, ia berkata, “Iya”, aku berkata, “Bagaimanakah sikap nabi Ayyub?” Ia berkata, “Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah, langsung saja jelaskan maksudmu –semoga Allah merahmatimu-!!”.
Aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”. Orang itu berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepadaNya lalu Ia menyiksanya dengan api neraka”, kemudian ia berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, lalu ia menarik nafas yang panjang lalu meninggal dunia.
Aku berkata, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’uun“, besar musibahku, orang seperti ini jika aku biarkan begitu saja maka akan dimakan oleh binatang buas, dan jika aku hanya duduk maka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.
Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku “Wahai Abdullah, ada apa denganmu?, apa yang telah terjadi?”. Maka akupun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami. Lalu mereka berkata, “Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”, maka akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata, “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah, demi Allah tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur!!”.
Aku bertanya kepada mereka, “Siapakah orang ini –semoga Allah merahmati kalian-?”, mereka berkata, Abu Qilabah Al-Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas, ia sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kamipun memandikannya dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolatinya dan menguburkannya, lalu merekapun berpaling dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di kawasan perbatasan.
Tatkala tiba malam hari, akupun tidur dan aku melihat di dalam mimpi ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah
(sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum"[772]. Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS: Ar-Ra'd: 24)
Lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”, ia berkata, “Benar”, aku berkata, “Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua”, ia berkata, “Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa dengan bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang dan tentram bersama dengan rasa takut kepada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun dalam keadaan di depan khalayak ramai”.

Sifat umat yang mendapat bimbingan Allah Swt. dan siap melakukan perintahnya itu ialah: apabila mereka mendapat sesuatu yang disenanginya, akan memuji Allah, sebaliknya apabila mereka menerima sesuatu yang tak diinginkannya, tidak menjadikannya mengeluh atau berputus asa.


Allah menggambarkan umat ini di satu segi bersifat positif, yaitu bersyukur dan bersabar, tapi di lain segi digambarkan-Nya negative, yaitu: tidak berlapang dada dan tidak berilmu.

Penggambaran Allah Swt. tersebut, mengagetkan Nabi Isa a.s. sehingga beliau bertanya kepada Allah: " Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?" Kemudian Allah Swt. menjelaskan, bahwa umat seperti itu pasti terjelma, sebab kemudian oleh Allah diberi kurnia dan rahmat berupa ilmu. kekurangan sifat-sifat yang disebut tadi terhalang. karena mereka diberi bagian dari sifat-Nya.

Sikap lapang dada dan berilmu tidaklah terjadi dengan sendirinya pada diri kita, akan tetapi diperoleh melalui satu latihan. Seyogyanya kita sebagai umat Muhammad memiliki kedua sifat ini sehingga dapat hidup sesuai dengan julukan muslim.

iman kita sebenarnya terbagi dari dua bagian sesuai dengan sabda Rasulullah Saw

الصبر نصف الايما ن واليقين الايما ن كله
sabar adalah separo iman dan keyakinan adalah seluruh keimanan (HR: athabarani dan Al-Baihaqi).

Jadi menurut hadits di atas menunjukkan kedudukan sabar adalah merupakan setengah dari keimanan yang kita miliki, sehingga kita tahu betapa pentingnya hakikat sabar di dalam diri kita, karena apabila kita sebagai orang yang beriman maka sudah selayaknya di dalam diri kita terdapat sifat sabar.

Sedangkan syukur merupakan salah satu perwujudan dari iman, atau tanda dari orang beriman. yang di mana orang tersebut merasa gembira terhadap apa yang diberikan Allah kepada-nya baik pemberian itu berupa apapun yang ia terima.

Syukur merupakan suatu sikap yang berlawanan dengan kufr (ingkar terhadap anugerah Tuhan) jadi syukur itu tidak sedikitpun mengingkari nikmat Allah Swt yang diberikan kepadanya.

Untuk menggembirakan dan menggambarkan umat Muhammad inilah kita dapati dalam al-Qur'an kata"Halim" dalam berbagai bentuk seperti


Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS: al-Imran: 155)


sifat "halim" ini diberikan juga kepada para Nabi. khusus kepada Nabi Ibrahim nenek moyang para Nabi, disebutkan dalam al-Qur'an:

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun. (QS: at-Taubah: 114)

Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar.
(QS: as-Shaffat: 101)

Kesemuanya ini menunjukkan agar setiap pribadi umat Muhammad Saw. Bersikap sabar.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan:

1. Allah Swt telah memberikan kabar gembira kepada umat purba sebelum kita, tentang kedatangan umat islam ini, yaitu umat Nabi Muhammad Saw.

2. Umat Islam ini mempunyai kedudukan utama, dan pertama sebab senang menerima petunjuk dan pimpinan Khaliq-nya, senang melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

3. Umat ini senang menghargai ni'mat dan mensyukurinya, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.

4. Umat ini tidak kenal putus asa ketika ditimpa mushibah atau dikenai ujian. mereka dapat berlaku sabar, dan saling menasihati untuk bersabar.

5. Umat ini bersikap sabar, penyantun dan tidak cepat marah sehingga tidak selalu resah gelisah.

6. Sabar merupakan setengah dari keimanan yang kita miliki.

7. Syukur merupakan rasa menerima dengan gembira terhadap pemberian yang diberikan Allah kepadanya.



Berbahagialah Umat Islam, yang mengikuti perintah Khaliq-Nya, menjauhi larangan-Nya, berpedoman kepada Qur'an-Nya serta berakhlak meneladani jejak Rasul-Nya.


Alangkah indahnya apa yang dilukiskan di dalam al-Qur'an tentang sifat sabar dan syukur, yang menghiasi akhlak umat Islam, apalagi kalau dilengkapi dengan akhlak terpuji lainnya seperti zuhud, silaturrahmi dan sebagainya.


Daftar Pustaka

Ali Usman, A.Dahlan. dan M.D. Dahlan, Hadits Qudsi, Bandung: Diponegoro, 2005
Muhammad Almath Faiz, 1100 HaditsTerpilih, Jakarta: Gema Insani, 1991
Arraiyyah Hamdar, SabarKunci Surga, Jakarta: Khazanah baru, 2002
Khalid Muhammad Khalid, 2000, Para Sahabat yang Akrab Dalam Kehidupan Rasul, Jakarta: Srigunting,